Posted in

Medsos Sudah Menjadi Sumber Berita, Berpotensi Berisi Hoaks

Jakarta – Survei Digital News Report 2025 menyebutkan sebanyak 57% responden di Indonesia mengaku berita atau informasi diperoleh melalui media sosial (medsos) atau bukan dari media siber arus utama.

Jadi, lini masa medsos bukan lagi sekadar ruang obrolan, tapi instrumen pembentuk opini publik.

“Lantas apa yang terjadi jika yang beredar di lini masa media sosial dan viral adalah konten hoaks? Seperti miscaption, deepfake, ajakan palsu atau narasi jahat yang dibangun dengan sesat pikir (logical fallacy) Inilah pelajaran yang harus kita petik dari kerusuhan akhir Agustus lalu,” kata Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Harris Arthur Hedar pada Selasa (9/9/2025).

Sementara itu Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024. Dari jumlah ini mayoritas bertema politik dan keamanan atau produksi konten hoaks yang sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan keresahan publik.

Empat konten utama yang menjadi ancaman serius antara lain

1.Miscaption, yakni foto atau video lama diberi keterangan baru, contoh: Video 1998 yang diberi narasi seolah peristiwa Agustus 2025.

2.Deepfake, berupa rekayasa audio/visual menggunakan AI, misalnya rekaman suara sintetis Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut “guru beban negara”, padahal hasil rekayasa.

3.Ajakan aksi palsu, broadcast yang mengarahkan massa ke lokasi dan waktu yang salah, sehingga memicu kerawanan spontan.

4.Narasi sesat pikir (logical fallacy), yang dikemas dalam meme atau flyer, misalnya serangan Ad Hominem, Straw Man Fallacy, Bandwagon Fallacy, False Dichotomy, hingga Appeal to Authority.

“Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan,” ucapnya.

Dengan begitu sebagian masyarakat tidak mampu memverifikasi konten digital, apalagi mayoritas pengguna internet di Indonesia berasal dari latar pendidikan beragam. Karena itu, negara harus hadir.

“Negara harus membentuk command room satu atap yang bertugas melakukan analitik disinformasi, dan merespon dengan cepat dalam hitungan menit untuk menyampaikan bahwa konten tersebut hoaks, deepfake atau ajakan palsu,” ujarnya.

Harris Arthur Hedar meneruskan kecepatan klarifikasi menjadi kunci, rata-rata warganet Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di medsos, sehingga hoaks bisa cepat menyebar luas.

“Dalam konteks kerusuhan 2025, kita bisa mengambil pelajaran, secepat apa pemerintah melakukan debunking alias tindakan membongkar dan menunjukkan bahwa suatu informasi itu hoaks, deepfake dan sejenisnya, dengan menyajikan bukti-bukti yang terverifikasi. Sehingga hoaks yang menjadi viral tersebut akan teredam dengan sendirinya,” tuturnya. (adm)

Sumber: detik.com