Perusahaan-perusahaan mulai menyadari mereka terikat secara kompleks ke dalam jaringan kemajuan teknologi, sehingga terpaksa mengadopsi teknologi baru agar tetap kompetitif.

Hal ini mulai dari penggunaan teknologi Internet of Things (IoT) dalam manufaktur dan pengelolaan fasilitas, bisnis ritel kecil, bisnis makanan dan minuman yang mengandalkan solusi pembayaran contactless.

Dengan begitu teknologi membentuk bagaimana perusahaan beroperasi dan berkompetisi yang semakin banyak perusahaan berinvestasi dalam teknologi dan generative artificial intelligence/AI (kecerdasan buatan).

Namun, kebanyakan mereka melakukannya dengan terburu-buru, tanpa memahami bagaimana investasi ini bisa sangat menguntungkan perusahaan atau hanya sekedar menghindari risiko ketinggalan teknologi.

Asia Pasifik memiliki pertumbuhan dan peluang ekonomi dan keberagaman budaya dibandingkan kawasan-kawasan lain di dunia. Namun, wilayah ini juga memiliki berbagai risiko.

Survei Anatomy of Adaptive Leaders yang dilakukan oleh Economist Impact menemukan sebanyak 77% wilayah Asia Pasifik kekurangan tenaga kerja ahli.

Kemudian, sebanyak 76% mengalami disrupsi dalam rantai pasokan, sebanyak 69% mengalami serangan keamanan siber, dan sebanyak 69% mengalami regulasi yang semakin terfragmentasi.

Kekurangan tenaga kerja ahli secara akut terjadi di negara-negara seperti Jepang sebanyak 87%, Australia sebanyak 84%, dan Korea Selatan (Korsel) sebanyak 81%. Mereka juga mengalami kekurangan di sektor-sektor seperti grosir, sumber daya alam (SDA), dan jasa.

Dengan demikian, para pemimpin perusahaan di Asia Pasifik harus bernavigasi di lanskap yang multi-facet yang membutuhkan pemahaman berbagai faktor risiko secara rinci.

Pemimpin perusahaan kecil, perusahaan besar, atau perusahaan multinasional mesti mempunyai kemampuan beradaptasi guna berkembang dan menjalankan bisnis supaya sukses dan tetap kompetitif di pasar yang terus berkembang.

Tidak Sekedar Transformasi
Semua orang berbicara tentang transformasi digital, tetapi ini bukan hanya sekedar digitalisasi atau otomatisasi. Namun, ini perlu menggunakan suatu metodologi untuk mentransformasi proses bisnis, budaya dan pengalaman pelanggan.

Untuk mencapai ini pemimpin perusahaan harus setuju dan mendukung pengembangan perusahaan menjadi siap digital.

Pemimpin harus tetap berpikiran terbuka terhadap teknologi baru dan bersedia untuk mencobanya seperti komputasi cloud, Web3, komputasi kuantum, dan generative AI. Sebagian pemimpin perusahaan memang tidak bisa memiliki keterampilan dalam setiap inovasi teknologi atau produk.

Namun, mereka harus berhasil memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang guna meningkatkan efisiensi terhadap sumber daya perusahaan dan mengurangi biaya yang muncul.

Para eksekutif yang kurang tech-savvy bisa terus mendorong inovasi dalam perusahaannya dengan memiliki sikap adaptif. Berikut tiga langkah untuk menjadi pemimpin yang adaptif:

1.Mendorong budaya siap digital
Menumbuhkan gaya kepemimpinan yang adaptif di era teknologi, pertama dimulai dengan menanamkan budaya siap digital di dalam perusahaan.

Ini lebih dari memperkenalkan teknologi mutakhir dan tools digital, namun menanamkan kepercayaan diri dan kecakapan dalam diri karyawan untuk menggunakan tools tersebut.

Perkenalan proses dan praktik baru yang dimaksud seperti integrasi digital, pemimpin memainkan peran penting dalam memastikan perubahan berjalan mulus dalam operasional sehari-hari.

Para pemimpin juga perlu memberi contoh, seperti belajar tentang teknologi baru secara aktif dan bagaimana hal ini dapat bermanfaat bagi perusahaan.

Dengan mempromosikan budaya adaptif dan menerima kemajuan teknologi, para pemimpin memberdayakan tim mereka untuk tetap menjadi yang terdepan, sehingga meningkatkan agilitas perusahaan secara keseluruhan.

2.Mencari tahu kebutuhan modernisasi berdasarkan objektif bisnis
Selanjutnya, melibatkan evaluasi terhadap infrastruktur teknologi informasi (TI) perusahaan dan mengidentifikasi kebutuhan apa saja terkait modernisasi. Hal ini hanya sekedar update teknologi, tapi membutuhkan penyelarasan strategis antara infrastruktur TI dan objektif bisnis.

Pemimpin adaptif harus bekerja erat dengan departemen TI untuk memanfaatkan keahlian mereka untuk menjalankan platform dan teknologi yang paling cocok, agar bisa memanfaatkan sumber daya tersebut demi memenuhi kebutuhan bisnis yang berkembang.

Dengan melakukan hal tersebut, pemimpin memperkuat fondasi teknologi perusahaan, menempatkannya untuk mencapai sukses yang berkelanjutan dalam lanskap bisnis yang berubah secara pesat.

3.Kolaborasi dan mengadopsi gaya kerja terbuka
Menerapkan gaya kepemimpinan adaptif juga termasuk menerapkan gaya kerja terbuka. Ini dicirikan dengan agilitas dan kolaborasi.

Dengan mengadopsi pola pikir yang agile, pemimpin bisa mendorong timnya untuk merespons kondisi pasar yang berbeda dengan cepat.

Kolaborasi antar tim juga penting, contohnya departemen TI yang biasa dianggap terpisah dari fungsi lain dalam bisnis. Namun, sebenarnya merela mempunyai keterampilan dan keahlian yang bisa membantu perusahaan meningkatkan proses kerja dan menghilangkan berbagai pain point.

Contohnya, departemen TI bisa mengurangi waktu yang dihabiskan untuk melakukan tugas yang repetitif melalui alur kerja otomatis.

Selain itu meng-upgrade infrastruktur tradisional untuk mengakomodasi perubahan pesat dalam industri seperti perbankan dan mendorong kolaborasi di seluruh perusahaan demi menumbuhkan budaya kerja.

Ketika gagasan bisa dibagikan secara bebas, para pemimpin akan mampu mengarahkan perusahaannya menuju inovasi yang lebih hebat.

Navigasi Kompleksitas Bisnis
Asia Pasifik adalah wilayah dengan budaya yang beragam yakni banyak negara sedang mengalami gejolak ekonomi yang berbeda. Contohnya, Australia sedang mengalami periode kelesuan ekonomi yang diperparah dengan tenaga kerja yang menua.

Sementara itu Taiwan melakukan ekspor, padahal permintaan ini sedang turun di dunia yang membahayakan pemulihan ekonomi jangka pendek.

Pada sisi lain sebagian besar perusahaan ingin berinvestasi dalam inovasi dan teknologi baru untuk menghadapi situasi yang menantang ini dan mereka perlu lebih berhemat.

Meskipun perusahaan secara naluriah bisa berusaha mengurangi risiko akibat gejolak ini dengan mengurangi investasi teknologi atau inisiatif yang mendorong inovasi dan kompleksitas yang sedang terjadi sekarang.

Gejolak ini telah menajamkan fokus pemimpin perusahaan saat mereka mengarahkan bisnis mereka dan memberikan nilai dan inovasi walaupun ada pengurangan sumber daya.

Perusahaan di Asia Pasifik mencapai peningkatan daya saing, produktivitas, dan edisiensi saatr mengadopsi TI seperti komputasi awan dan AI generatif.

Untuk meningkatkan resiliensi perusahaan, perusahaan bisa memanfaatkan teknologi seperti open source yang sudah siap menghadapi masa depan. Sebanyak 72% perusahaan di Singapura telah mencapai kemajuan besar demham mengadopsi prinsip dan teknologi open source.

Open source menyiapkan fondasi bagi perkembangan teknologi, meningkatkan daya saing, produktivitas, dan efisiensi perusahaan.

Senior Vice President and General Manager, APJC, Red Hat, Marjet Andriesse

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *